AKUT LIMFOBLASTIK LEUKIMIA (ALL)
A. DEFINISI
Acute lympobastic leukemia adalah bentuk akut dari leukemia yang diklasifikasikan menurut cell yang lebih banyak dalam sumsum tulang yaitu berupa lymphoblasts. Pada keadaan leukemia terjadi proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk leukosit yang lain daripada normal, jumlahnya berlebihan dan dapat menyebabkan anemia, trombositopenia, dan diakhiri dengan kematian (Ngastiyah, 1997).
Leukemia adalah istilah umum yang digunakan untuk keganasan pada sumsum tulang dan sistem limpatik (Wong, 1995). Sedangkan menurut Robbins & Kummar (1995), leukemia adalah neoplasma ganas sel induk hematopoesis yang ditandai oelh penggantian secara merata sumsum tulang oleh sel neoplasi.
B. ETIOLOGI
Penyebab acut limphosityc leukemia sampai saat ini belum jelas, diduga kemungkinan karena virus (virus onkogenik) dan faktor lain yang mungkin berperan, yaitu:
1. Faktor eksogen
a. Sinar x, sinar radioaktif.
b. Hormon.
c. Bahan kimia seperti: bensol, arsen, preparat sulfat, chloramphinecol, anti neoplastic agent).
2. Faktor endogen
a. Ras (orang Yahudi lebih mudah terkena dibanding orang kulit hitam)
b. Kongenital (kelainan kromosom, terutama pada anak dengan Sindrom Down).
c. Herediter (kakak beradik atau kembar satu telur).
(Ngastiyah, 1997)
C. PATOFISIOLOGI
Komponen sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah (RBC) dan leukosit atau sel darah putih (WBC) serta trombosit atau platelet. Seluruh sel darah normal diperoleh dari sel batang tunggal yang terdapat pada seluruh sumsum tulang. Sel batang dapat dibagi ke dalam lymphpoid dan sel batang darah (myeloid), dimana pada kebalikannya menjadi cikal bakal sel yang terbagi sepanjang jalur tunggal khusus. Proses ini dikenal sebagai hematopoiesis dan terjadi di dalam sumsum tulang tengkorak, tulang belakang., panggul, tulang dada, dan pada proximal epifisis pada tulang-tulang yang panjang.
ALL meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan kematangan lemah dan pengumpulan sel-sel penyebab kerusakan di dalam sumsum tulang. Biasanya dijumpai tingkat pengembangan lymphoid yang berbeda dalam sumsum tulang mulai dari yang sangat mentah hingga hampir menjadi sel normal. Derajat kementahannya merupakan petunjuk untuk menentukan/meramalkan kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan sel muda limfoblas dan biasanya ada leukositosis (^)%), kadang-kadang leukopenia (25%). Jumlah leukosit neutrofil seringkali rendah, demikian pula kadar hemoglobin dan trombosit. Hasil pemeriksaan sumsum tulang biasanya menunjukkan sel-sel blas yang dominan. Pematangan limfosit B dimulai dari sel stem pluripoten, kemudian sel stem limfoid, pre pre-B, early B, sel B intermedia, sel B matang, sel plasmasitoid dan sel plasma. Limfosit T juga berasal dari sel stem pluripoten, berkembang menjadi sel stem limfoid, sel timosit imatur, cimmom thymosit, timosit matur, dan menjadi sel limfosit T helper dan limfosit T supresor.
Peningkatan prosuksi leukosit juga melibatkan tempat-tempat ekstramedular sehingga anak-anak menderita pembesaran kelenjar limfe dan hepatosplenomegali. Sakit tulang juga sering dijumpai. Juga timbul serangan pada susunan saraf pusat, yaitu sakit kepala, muntah-muntah, “seizures” dan gangguan penglihatan (Price Sylvia A, Wilson Lorraine Mc Cart, 1995).
Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).
D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik dari acut limphosityc leukemia antara lain:
- Pilek tak sembuh-sembuh
- Pucat, lesu, mudah terstimulasi
- Demam, anoreksia, mual, muntah
- Berat badan menurun
- Ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi, memar tanpa sebab
- Nyeri tulang dan persendian
- Nyeri abdomen
- Hepatosplenomegali, limfadenopati
- Abnormalitas WBC
- Nyeri kepala (Mansjoer, A, 2000)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik yang lazim dilakukan pada anak dengan acut limphosityc leukemia adalah:
- Pemeriksaan sumsum tulang (BMP / Bone Marrow Punction):
a. Ditemukan sel blast yang berlebihan
b. Peningkatan protein
- Pemeriksaan darah tepi
a. Pansitopenia (anemia, lekopenia, trombositopneia)
b. Peningkatan asam urat serum
c. Peningkatan tembaga (Cu) serum
d. Penurunan kadar Zink (Zn)
e. Peningkatan leukosit dapat terjadi (20.000 – 200.000 / ยตl) tetapi dalam bentuk sel blast / sel primitif
- Biopsi hati, limpa, ginjal, tulang untuk mengkaji keterlibatan / infiltrasi sel kanker ke organ tersebut
- Fotothorax untuk mengkaji keterlibatan mediastinum
- Sitogenik:
50-60% dari pasien ALL dan AML mempunyai kelainan berupa:
a. Kelainan jumlah kromosom, seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a)
b. Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial delection)
c. Terdapat marker kromosom, yaitu elemen yang secara morfologis bukan komponen kromosom normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil (Betz, Sowden. (2002).
F. PENATALAKSANAAN
1. Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda‑tanda DIC dapat diberikan heparin.
2. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
3. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6‑merkaptopurin atau 6‑mp, metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L‑asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriamisin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama‑sama dengan prednison. Pada pemberian obat‑obatan ini sering terdapat akibat samping berupa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti‑hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3.
4. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci hama).
5. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 ‑ 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna.
6. Cara pengobatan.
7. Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalamannya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut:
a. Induksi
Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berbagai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sampai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.
b. Konsolidasi
Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
c. Rumat (maintenance)
Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat‑dapatnya suatu masa remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis biasa.
d. Reinduksi
Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3‑6 bulan dengan pemberian obat‑obat seperti pada induksi selama 10‑14 hari.
e. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat.
Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.4002.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia serebral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
f. Pengobatan imunologik
Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna. (Sutarni Nani.(2003)
G. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian keperawatan
a. Identitas
Acute lymphoblastic leukemia sering terdapat pada anak-anak usia di bawah 15 tahun (85%) , puncaknya berada pada usia 2 – 4 tahun. Rasio lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
b. Riwayat Kesehatan
§ Keluhan Utama : Pada anak keluhan yang sering muncul tiba-tiba adalah demam, lesudan malas makan atau nafsu makan berkurang, pucat (anemia) dan kecenderungan terjadi perdarahan.
§ Riwayat kesehatan masa lalu : Pada penderita ALL sering ditemukan riwayat keluarga yang erpapar oleh chemical toxins (benzene dan arsen), infeksi virus (epstein barr, HTLV-1), kelainan kromosom dan penggunaan obat-obatann seperti phenylbutazone dan khloramphenicol, terapi radiasi maupun kemoterapi.
§ Pola Persepsi – mempertahankan kesehatan : Tidak spesifik dan berhubungan dengan kebiasaan buruk dalam mempertahankan kondisi kesehatan dan kebersihan diri. Kadang ditemukan laporan tentang riwayat terpapar bahan-bahan kimia dari orangtua.
§ Pola Latihan dan Aktivitas : Anak penderita ALL sering ditemukan mengalami penurunan kordinasi dalam pergerakan, keluhan nyeri pada sendi atau tulang. Anak sering dalam keadaan umum lemah, rewel, dan ketidakmampuan melaksnakan aktivitas rutin seperti berpakaian, mandi, makan, toileting secara mandiri. Dari pemeriksaan fisik dedapatkan penurunan tonus otot, kesadaran somnolence, keluhan jantung berdebar-debar (palpitasi), adanya murmur, kulit pucat, membran mukosa pucat, penurunan fungsi saraf kranial dengan atau disertai tanda-tanda perdarahan serebral.Anak mudah mengalami kelelahan serta sesak saat beraktifitas ringan, dapat ditemukan adanya dyspnea, tachipnea, batuk, crackles, ronchi dan penurunan suara nafas. Penderita ALL mudah mengalami perdarahan spontan yang tak terkontrol dengan trauma minimal, gangguan visual akibat perdarahan retina, , demam, lebam, purpura, perdarahan gusi, epistaksis.
§ Pola Nurisi : Anak sering mengalami penurunan nafsu makan, anorexia, muntah, perubahan sensasi rasa, penurunan berat badan dan gangguan menelan, serta pharingitis. Dari pemerksaan fisik ditemukan adanya distensi abdomen, penurunan bowel sounds, pembesaran limfa, pembesaran hepar akibat invasi sel-sel darah putih yang berproliferasi secara abnormal, ikterus, stomatitis, ulserasi oal, dan adanya pmbesaran gusi (bisa menjadi indikasi terhadap acute monolytic leukemia)
§ Pola Eliminasi : Anak kadang mengalami diare, penegangan pada perianal, nyeri abdomen, dan ditemukan darah segar dan faeces berwarna ter, darah dalam urin, serta penurunan urin output. Pada inspeksi didapatkan adanya abses perianal, serta adanya hematuria.
§ Pola Tidur dan Istrahat : Anak memperlihatkan penurunan aktifitas dan lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk tidur /istrahat karena mudah mengalami kelelahan.
§ Pola Kognitif dan Persepsi : Anak penderita ALL sering ditemukan mengalami penurunan kesadaran (somnolence) , iritabilits otot dan “seizure activity”, adanya keluhan sakit kepala, disorientasi, karena sel darah putih yang abnormal berinfiltrasi ke susunan saraf pusat.
§ Pola Mekanisme Koping dan Stress : Anak berada dalam kondisi yang lemah dengan pertahan tubuh yang sangat jelek. Dalam pengkajian dapt ditemukan adanya depresi, withdrawal, cemas, takut, marah, dan iritabilitas. Juga ditemukan peerubahan suasana hati, dan bingung.
§ Pola Seksual : Pada pasien anak-anak pola seksual belum dapat dikaji
§ Pola Hubungan Peran : Pasien anak-anak biasanya merasa kehilangan kesempatan bermain dan berkumpul bersama teman-teman serta belajar.
§ Pola Keyakinan dan Nilai : Anak pra sekolah mengalami kelemahan umum dan ketidakberdayaan melakukan ibadah.
2. Pemeriksaan Diagnostik
§ Count Blood Cells : indikasi normocytic, normochromic anemia
§ Hemoglobin : bisa kurang dari 10 gr%
§ Retikulosit : menurun/rendah
§ Platelet count : sangat rendah (<50.000/mm)
§ White Blood cells : > 50.000/cm dengan peningkatan immatur WBC (“kiri ke kanan”)
§ Serum/urin uric acid : meningkat
§ Serum zinc : menurun
§ Bone marrow biopsy : indikasi 60 – 90 % adalah blast sel dengan erythroid prekursor, sel matur dan penurunan megakaryosit
§ Rongent dada dan biopsi kelenjar limfa : menunjukkan tingkat kesulitan tertentu
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
§ Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan perubahan maturitas sel darah merah, peningkatan jumlah limfosit imatur, imunosupresi
§ Resiko terhadap penurunan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran berlebihan seperti muntah, perdarahan, diare, penurunan intake cairan
§ Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan pembesaran kelenjar limfe, efek sekunder pemberian anti leukemic agents
§ Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan, penurunan sumber energi, peningkatan laju metabolik akibat produksi lekosit yang berlebihan, ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan
4. RENCANA KEPERAWATAN
§ Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan perubahan maturitas sel darah merah, peningkatan jumlah limfosit imatur, imunosupresi
Tujuan : setelah dilakukan tindakana keperawatan diharapkan tdak terjadi infeksi.
Kriteria Hasil :
Klien akan :
- Mengidentifikasi faktor resiko yang dapat dikurangi
- Menyebutkan tanda dan gejala dini infeksi
- Tidak ada tand infeksi
Intervensi | Rasional |
1. Lakukan tindakan untuk mencegah pemajanan pada sumber yang diketahui atau potensial terhadap infeksi : a. Pertahankan isolasi protektif sesuai kebijakan institusional b. Pertahankan teknik mencuci tangan dengan cermat c. Beri hygiene yang baik d. Batasi pengunjung yang sedang demam, flu atau infeksi e. Berikan hygiene perianal 2 x sehari dan setiap BAB f. Batasi bunga segar dan sayur segar g. Gunakan protokol rawat mulut h. Rawat klien dengan neutropenik terlebih dahulu 2. Laporkan bila ada perubahan tanda vital 3. Dapatkan kultur sputum, urine, diare, darah dan sekresi tubuh abnormal sesuai anjuran 4. Jelaskan alasan kewaspadaan dan pantangan 5. Yakinkan klien dan keluarganya bahwa peningkatan kerentanan pada infeksi hanya sementara 6. Minimalkan prosedur invasif | 1. Kewaspadaan meminimalkan pemajanan klien terhadap bakteri, virus, dan patogen jamur baik endogen maupun eksogen 2. Perubahan tanda-tanda vital merupakan tanda din terjadinya sepsis, utamanya bila terjadi peningkatan suhu tubuh 3. Kultur dapat mengkonfirmasikan infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab 4. Pengertian klien dapat memperbaiki kepatuhan dan mengurangi faktor resiko 5. Granulositopeniaa dapat menetap 6-12 minggu. Pengetian tentang sifat sementara granulositopenia dapat membantu mencegah kecemasan klien dan keluarganya 6. Prosedur tertentu dapat menyebabkan trauma jaringan, menngkatkan kerentanan infeksi |
§ Resiko terhadap penurunan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran berlebihan seperti muntah, perdarahan, diare, penurunan intake cairan
Batasan karakteristik :
- Tidak muntah
- Perdarahan masif tidak ada
- Tidak mengalami diare
- Intake < output
Kriteria Hasil :
Klien akan :
- Memperlihatkan keadaaan volume cairan yang adekuat
- Memperlihatkan tanda-tanda vital dalam bataas normal
- Memperlihatkan urine output, PH dalam batas normal
Intervensi | Rasional |
1. Monitor intake dan output . Catat penurunan urin, dan besarnya PH 2. Hitung berat badan setiap hari 3. Motivasi klien untuk minum 3 – 4 l/hari jika tanpa kontra indikasi 4. Kaji adanya petechie pada kulit dan membran mukosa, perdarahan gusi 5. Gunakan alat-alat yang tidak menyebakan resiko perdarahan 6. Berikan diet makanan lunak 7. Kolaborasi : § Pemberian cairan sesuai indikasi § Monitor pemeriksaan diagnostik : Platelet, Hb/Hct, bekuan darah | 1. Penurunan sirkulasi sekunder dapat menyebabkan berkurangnya sirkulasi ke ginjal atau berkembang menjadi batu ginjal sehingga menyebabkan retensi cairan atau gagal ginjal 2. Sebagai ukuran keadekuatan volume cairan. Intake yang lebih besar dari output dapat diindikasikan menjadi renal obstruksi. 3. Meningkatkan aliran urin, mencegah asam urat, dan membersihkan sisa-sisa obat neoplastik 4. Supresi bone marrow dan prosuduksi platelet menyebabkan klien beresiko mengalami perdarahan 5. Jaringan yang mudah robek dan mekanisme pembekuan dapat menyebabkan perdarahan meskipun karena trauma ringan 6. Mencegah iritasi gusi 7. Mempertahankan cairan dan elektrolit yang tidak bisa dilakukan per oral, menurunkan komplikasi renal 8. Bila platelet <20.000/mm( akibat pengaruh sekunder obat neoplastik ) , klien cenderung mengalami perdarahan. Penurunan Hb/Hct berindikasi terhadap perdarahan. |
§ Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan pembesaran kelenjar limfe, efek sekunder pemberian anti leukemic agents
Batasan karakteristik :
- Keluhan nyeri (tulang,sarf, sakit kepala, dll)
- Distraksi menahan, ekspresi meringis, menangis, perubahan tonus otot
- Respon-respons autonomik
Kriteria hasil :
Klien akan :
- Melaporkan nyeri berkurang atau hilang
- Memperlihatkan perilaku positif dalam mengatasi nyeri
Intervensi | Rasional |
1. Kaji tingkat nyeri, gunakan skala 1 – 10 2. Monitor vital signs, catat reaksi non verbal 3. Ciptakan lingkungan yang tenang dan kurangi stimulus 4. Berikan posisi yang nyaman 5. Latih ROM exercise 6. Evaluasi mekanisme koping klien Kolaborasi : 1. Analgetik 2. Narkotik 3. Tranguilizer | 1. Berguna mengkaji kebutuhan intervensi , bisa berindikasi perkembangan komplikasi 2. Berguna dalam validasi verbal dan mengevaluasi keefektifan intervensi 3. Meningkatkan kemampuan istrahat dan memperkuat kemampuan koping 4. Menurunkan gangguan pada tulang dan sendi 5. Meningkatkan sirkulasi jaringan dan mobilitas sendi 6. Penggunaan persepsi pribadi untuk mengatasi nyeri dapat membantu klien memiliki koping yang lebih efektif 7. Diberikan untuk nyeri ringan Cat : jangan menggunakan aspirin karena bisa menyebabkan perdarahan 8. Diberikan untuk nyeri sedang-berat 9. Memperkkuat kerja analgetik/narkotik |
§ Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan, penurunan sumber energi, peningkatan laju metabolik akibat produksi lekosit yang berlebihan, ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan
Batasan karakteristik :
- Keluhan lemah, anak memperlihatkan penurunan kemampuan beraktifitas
- Anak rewel, dyspnea
- Abnormal HR atau respon perubahan TD
Kriteria hasil :
- Klien akan menunjukkan partisipasi dalam ADL sesuai kemampuan
Intervensi | Rasional |
1. Evaluasi keluhan lemah, rewel, ketidakberdayaan dalam ADL 2. Ciptakan lingkungan yang tenang dan istrahat yang tidak terganggu 3. Bantu dalam setiap pemenuhan rawat diri/ADL 4. Jadwalkan pemberian makan sebelum kemoterapi. Beri oral hidrasi sebelum makan dan anti emetik sesuai indikasi 5. Kolaborasi : Pemberian suplemen O2 sesuai anjuran | 1. Efek leukemia, anemia dan kemoterapi dapat menjadi satu sehingga memerlukan bantuan dalam pemenuhan aktifitas ADL 2. Mengumpulkan energi untuk beraktifitas dan untuk regenerasi sel 3. Memaksimalkan kemampuan untuk rawat diri 4. Meningkatkan intake sebelum terjadi mual akibat efek samping kemoterapi 5. Memaksimalkan kemampuan oksigenasi untuk uptake seluler |